Makalah Musaqoh
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaku akad.
Akad semacam ini diperbolehkan oleh agama, sebagai solusi bagi umat yang perjalanan hidupnya berbeda atau gaya hidupnya berbeda beda, fenomena semacam ini kita lihat sepanjang kehidupan ini. Hal semacam ini terjadi karena dipengaruhi oleh sumber perekonomeannya yang berbeda. Sebagai contoh, banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedangkan yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya akad musaqah yang diperbolehkan agama keduanya dapat saling membantu satu sama lain sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan baik.
Secara teknis, kerjasama dalam bidang perkebunan sudah lama dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Sudah banyak yang dihasilkan dari kerja sama jenis ini. berdasarkan kebiasaan yang berlaku, akad dilakukan oleh pemilik kebun dan tukang kebun adalah akad kontrak kerja, dalam artian tukang kebun merawat kebun dengan upah bulanan atau mingguan yang telah ditentukan. Jarang sekali ditemukan kerjasama antara pemilik dan tukang kebun menggunakan system bagi hasil.
Padahal jika kemali pada ajaran Islam, kerjasama perkebunan yang dianjurkan adalah kerjasama dengan menggunakan bagi hasil. Dalam konteks ini, pemilik kebun dan pemilik akan berbagi hasil panen yang dihasilkan. Sementara itu pembagian hasil tersebut telah ditentukan oleh akad. Kerja sama ini dinamakan musaqah yang dianjurkan oleh Islam. Selain itu, segala hal yang berkaitan dengan teknis, syarat, rukun, dan relevansi musaqah akan dibahas dalam makalah yang kami susun ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan dasar hukum musaqah? 2. Apa Syarat, Rukun Musaqah, Dan Hukum Musyaqah?
3. Bagaimana Hukum Musaqah Sahih Dan Fasid?
4. Bagaimana Hikmah Musaqah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Musaqah
Secara etimologi, musaqah مساقاة)) diambil dari asal kata saqiyyun (سقي) yang punya arti penyiraman tanaman.[1] Menurut Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.
Akad musaqah diperbolehkan oleh agama karena banyak yang membutuhkannya. Banyak orang mempunyai kebun, tetapi tidak dapat memeliharanya; sedangkan yang lain tidak mempunyai kebun tetapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peraturan ini keduanya dapat hidup dengan baik, hasil Negara pun bertambah banyak dan masyarakat bertambah makmur.[2]
عن إبن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم عامل أهل الخير شرط ما يخرج منهما من ثمر أو زرع ( رواه مسلم )
Artinya: "Sesungguhnya Nabi SAW. telah memberikan kebun Beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya".
Adapun dasar hukum musaqah adalah:
1. Al-Quran
Musaqah merupakan kerjasama bagi hasil antara pemilik tanah pertanian dengan penggarapnya, dengan demikian merupakan salah satu bentuk tolong-menolong. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas mengenai hal ini adalah: terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 2 yang Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Ma’idah : 2).
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada manusia agar saling membantu dan tolong menolong dalam kebaikan. Wujud tolong menolong ini tidak hanya dalam bentuk memberikan sesuatu kepada orang yang tidak mampu, tetapi juga bisa dalam bentuk memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka. Dalam usaha pertanian, tidak semua orang memiliki kemampuan mengolah tanah dan mengelola lahan perkebunan. Adakalanya seorang pemilik kebun juga tidak dapat mengelola kebunnya karena adanya kesibukan lain sehingga kebunnya itu menjadi terlantar. Sementara di sisi lain, tidak sedikit orang yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki lahan pertanian.
Di sinilah mereka dapat melakukan usaha bersama dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut. berkaitan dengan hal ini Yusuf Qardhawi menyatakan:
“Semua usaha yang dapat menghasilkan kebaikan bagi pribadi atau masyarakat atau dapat menghindarkan bahaya darinya, maka usaha itu adalah kebaikan dan ketakwaan, bila dimulai dengan niat yang shalih”.
“Semua usaha yang dapat menghasilkan kebaikan bagi pribadi atau masyarakat atau dapat menghindarkan bahaya darinya, maka usaha itu adalah kebaikan dan ketakwaan, bila dimulai dengan niat yang shalih”.
Dengan demikian, jika akad musaqah dilakukan atas dasar niat yang baik, dan dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan terhadap apa yang telah digariskan oleh syara’ sehingga tidak menimbulkan keberatan atau pun kerugian terhadap salah satu pihak, maka akad musaqah tersebut adalah termasuk dalam bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
2. Hadits
Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaqah dengan penduduk Khaibar sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
Artinya: Dari Ibnu Umar RA, “sesungguhnya Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau tanaman”. (HR. Muslim).
Artinya: Dari Ibnu Umar RA, “sesungguhnya Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil (lahan) yang diperoleh berupa buah-buahan atau tanaman”. (HR. Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan praktik musaqah selama masa hidup beliau dengan penduduk Khaibar. Beliau mempekerjakan mereka untuk mengurusi lahan pertanian dengan imbalan separuh dari hasil panen. Berdasarkan dalil-dalil di atas, jumhur ulama sepakat atas kebolehan melakukan akad musaqah kecuali Abu Hanifah yang tidak memperbolehkannya. Yusuf Qardhawi menjelaskan dalam hal ini perkara benar dan dikenal. Rasulullah SAW mempraktekkannya hingga wafat, kemudian diteruskan oleh khulafaur Rasyidin RA hingga mereka wafat, kemudian dilanjutkan oleh keluarga mereka; tidak seorang pun dari Ahlul Bait yang ada di Madinah kecuali mengamalkannya. Isteri-isteri Nabi juga mengamalkannya sepeninggal beliau.
B. Syarat Dan Rukun Musaqah
1. Syarat-syarat Musaqah yaitu:
a. Ahli di dalam akad.
b. Menjelaskan bagian penggarap.
c. Membebaskan pemilik dari pohon.
d. Hasil dari pohon dibagi antara orang yang melangsungkan akad.
e. Sampai batas akhir.[3]
2. Rukun Musaqah yaitu:
a. Dua orang yang akad, disayaratkan harus baligh dan berakal.
b. Obyek musaqah. (semua kebun dan pohon yang berbuah). Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjual belikan.
c. Pekerjaan. Pekerjaan hendaknya ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih. Minimal kira menurut kebiasaan dalam masa itu pohon sudah berbuah.
d. Buah. hasil dari kebun hendaknya ditentukan bagian masing-masing, misalnya seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan kesepakatan keduanya pada waktu akad.
e. Sighat. yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas dan samaran, disyaratkan dengan lafadzkan bagi yang mampu berbicara, agar akad menjadi lazim.[4]
C. Hukum Musaqah Sahih Dan Fasid
1. Hukum Musaqah Sahih
Hukum musaqah sahih menurut ulama' mempunyai beberapa ketetapan, antara lain:
a. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemelihara diserahkan kepada penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b. Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada uzur.
Penggarap tidak memberikan musaqah pada penggarap lain, kecuali diizinkan oleh pemilik.
2. Hukum Musaqah Fasid
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara'. Beberapa keadaan yang dapat dikatagorikan musaqah fasid antara lain;
a. Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap. Sebab penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
e. Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian atau setelah habis waktu akad.
f. Musaqah digarap banyak orang, sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lain.
3. Habis Waktu Musaqah
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
b. Salah satu pihak meninggal dunia;
D. Hikmah Musaqah
Ada beberapa hikmah dari dibolehkannya praktik musaqah, terutama dalam perawatan lahan pertanian yang menjadi objek musaqah tersebut. Dengan adanya akad musaqah, lahan tersebut tidak menjadi lahan yang terlantar karena adanya orang yang mengelola dan merawatnya. Dengan demikian, ada pemeliharaan tanah bagi pemilik dan ada keuntungan bagi penggarap.
Hal ini melahirkan kerja sama yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, sehingga seperti telah dijelaskan di atas, merupakan bentuk kerja sama dalam kebaikan apabila dilandasi dengan niat yang baik.
Adapun hikmah musaqah yaitu :
1. Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
2. Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
3. Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.
Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
2. Salah satu pihak meninggal dunia;
3. Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :
Dalam udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak :
Ulama Malikiyah : bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani.
Ulama Syafi’iyah : bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
Ulama Hanabilah : bahwa akad al-musaqah sama, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.
Selain itu, ada pula beberapa faedah lain dari kebolehan musaqah ini, yaitu pohon-pohon di kebun tersebut dapat hidup dan menghasilkan, karena penggarap telah berjasa merawat dan mengelolanya. Jika pohon-pohon tersebut dibiarkan begitu saja tanpa dirawat, tentunya ada kemungkinan pohon-pohon tersebut akan mati dalam waktu singkat. Faedah lain adalah adanya ikatan rasa cinta kasih sayang antara sesama manusia, sehingga umat dapat menjadi umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan bersama.
Setiap lahan pertanian tentunya memerlukan perawatan dan pemeliharaan. Tanpa perawatan dan pemeliharaan, lahan tersebut hanya akan menjadi lahan tidur karena tidak terurus dan tanamannya tentu tidak akan memberikan hasil. Apalagi lahan perkebunan yang tidak dirawat juga akan dipenuhi semak belukar yang dapat menjadi sarang babi hutan atau tikus yang dapat menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian lain di sekitarnya.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan yaitu :
1. Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Dasar hukum Al qur’an akad musaqah dilakukan atas dasar niat yang baik, dan dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyimpangan terhadap apa yang telah digariskan oleh syara’ sehingga tidak menimbulkan keberatan atau pun kerugian terhadap salah satu pihak, maka akad musaqah tersebut adalah termasuk dalam bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Dan dasar hukum Hadits Rasulullah SAW pernah melakukan praktik musaqah selama masa hidup beliau dengan penduduk Khaibar. Beliau mempekerjakan mereka untuk mengurusi lahan pertanian dengan imbalan separuh dari hasil panen. Berdasarkan dalil-dalil di atas, jumhur ulama sepakat atas kebolehan melakukan akad musaqah kecuali Abu Hanifah yang tidak memperbolehkannya.
2. Syarat Syarat Musaqah:
a. Ahli dalam akad.
b. Menjelaskan bagian penggarap.
c. Membebaskan pemilik dari pohon.
d. Hasil dari pohom dibagi antara orang yang melangsungkan akad.
e. Sampai batas akhir
Rukun Musaqah
a. Dua orang yang akad
b. Obyek musaqah. (semua kebun dan pohon yang berbuah).
c. Pekerjaan. Pekerjaan hendaknya ditentukan masanya,
d. Buah. Hasil dari kebun hendaknya ditentukan bagian masing-masing
e. Sighat. Harus diucapkan bagi orang yang mampu berbicara.
3. Musaqah sahih adalah akad yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Habis Waktu Musaqah
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
b. Salah satu pihak meninggal dunia;
c. Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
4. Adapun hikmah musaqah yaitu :
a. Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
b. Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
c. Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.
B. Saran
Dalam hal hubungan sesama manusia terutama dibidang kerja sama haruslah sesuai dengan kaidah ajaran Islam. Karena dengan mempaktekan secara Islam maka yakinlah bahwa tidak akan ada pihak yang dirugikan, kemudian dengan menjalin kerjsama secara kaidah Islam maka yakin lah pula bahwa kerjasama yang dijalin pun akan diridhoi oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Syafi'I, Rahmat. 2004.Fiqih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia.
Ibnu Umar,M. Nawawi.Tausyih ala Ibnu Qasim. Surabaya, Maktab al-Hidayah.
Syarbini,Muhamad al-Khatabi. al-Iqnak fi Halli al-Fadi abi Syuja' j.II. Jakarta: Darul Fikr.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islami"Hukum Fiqih Islam Lengkap".Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti.
Al-zuhaili, Wahbah.2007.al- Fiqih al- Islam Wa Adillatuhu, Jilid VI, Damaskus: Darul Fikir.
[1]Ibnu Umar M. Nawawi Tausyih ala Ibnu Qasim. Surabaya, Maktab al-Hidayah. H.165
[2]Syarbini Muhamad al-Khatabi. al-Iqnak fi Halli al-Fadi abi Syuja' j.II. Jakarta, Darul Fikr, hal 35.
[3]Rahmat Syafi'I. Fiqih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2004,hal 214.
[6]Sulaiman Rasjid,Fiqh Islami"Hukum Fiqih Islam Lengkap",Bandung, Sinar Baru Algensindo,1994,hal 301.
Komentar
Posting Komentar