Makalah Af'alul Ibad
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah Perbuatan Hamba Af'al al'Ibad bermula dari pembahasan sederhana, yang kemudian diperdebatkan oleh beberapa aliran-aliran. Menurut sejarah, masalah keagamaan yang yang pertama-tama diperdebatkan, sehingga mendorong lahirnya berbagai aliran-aliran dalam islam yang dilatarbelakangi oleh faktor politik pada awal pertumbuhan islam sepeninggal Rasulullah SAW. Seperti halnya perdebatan tentang manusia itu bebas berkehendak ataukah ada yang mengaturnya, yang merupakan salah satu dari permasalahan yang diperdebatkan oleh aliran-aliran ilmu kalam. Dari permasalahan tersebut kemudian lahirlah berbagai aliran-aliran dengan pandangan yang berbeda,dengan penggunaan dalil serta penafsiran yang berbeda-beda.
Af’al al-ibad juga merupakan permasalahan polemis dikalangan umat Islam, terutama menyangkut hubungannya dengan perbuatan Tuhan, apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? pertanyaan –pertanyaan seperti inilah yang menjadi pembahasan para ulama kalam, sehingga Makalah Af'alul Ibad perlu dibuat agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang perbuatan manusia
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Maksud Af'alul Ibad?
2. Bagaimana Af’alul Ibad Menurut Aliran Mu’tazilah ?
3. Bagaimana Af’alul Ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah ?
4. Bagaimana Af’alul Ibad Menurut Aliran Salaf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Af’alul Ibad
Afalul ibad merupakan suatu fungsi dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Tatkala para ulama kalam pun berselisih dalam menentukan fungsi dari perbuatan manusia tersebut. Apakah dengan kodrat dan irodat,manusia merupakan orang yang mempunyai hak untuk menentukan pekerjaan apa yang disukai oleh Manusia itu sendiri maupun perbuatan yang tidak disukai. Ataukah bukan dengan kodrat dan irodat.
Persoalan perbuatan makhluk atau manusia tidak pernah dibangkitkan pada zaman Rasulullah s.a.w dan zaman para sahabat serta pada zaman ulama’ salaf dahulu. Keimanan mereka yang bulat kepada qudrat dan iradat Allah sudah cukup menjadikan mereka yakin dan beriman kepada qada’dan qadar Allah tanpa sebarang persoalan dan perbincangan lagi.
Akan tetapi apabila masyarakat Islam telah bertembung dengan pengaruh kebudayaan dan falsafah maka perbahasan ulama’ tauhid telah bertukar corak menjadi ilmu kalam yakni bertukar corak dari aliran pemikiran yang mudah kepada aliran pemikiran falsafah. Walau pun demikian tujuan mereka adalah sama yaitu untuk membulatkan keyakinan kepada qudrat dan iradat Allah yang maha esa.[1]
B. Af’alul Ibad Menurut Mu’tazilah
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karna itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah. menurut Al-Juba'i dan Abd Aljabbra. Manusialah yang menciptakan perbuata-perbuatannya. Manusia sendirilah yang membuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Aliran mu’tazilah muncul setelah pendirinya Washil bin Atha’ berbeda pendapat dengan gurunya Hasan al-Basri dalam mempersoalkan masalah dosa besar, karena menurutnya terdapat posisi fasiq antara mukmin dan kafir. Selain ajaran di atas Washil juga berpaham Qadariah, yang menyatakan bahwa manusia punya pilihan dan kebebasan dalam perbuatannya sekalipun kebebasan perbuatan manusia itu ditentukan oleh keterbatasan manusia itu sendiri. Tuhan bersifat adil dan bijaksana, sehingga tidak mungkin berlaku jahat terhadap hambanya, juga tidak menginginkan hambanya menyalahi apa yang diperintahkannya. Tuhan mewajibkan sesuatu kepada hambanya lalu membalasnya dengan pahala, tidak mungkin Tuhan memerintahkan sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya untuk melakukannya. Logika inilah yang digunakan oleh Washil, sehingga menurutnya manusialah yang mewujudkan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Untuk itu Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya, selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.
Jika, perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia sendiri? Mu'tazilah dengan tegas mengatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan.Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan dayanya. Aliran Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan.[2]
Kaum mu’tazilah juga berpendirian bahwa Tuhan itu tidak menyukai kerusakan, tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusia melaksanakan segala kewajiban dan larangan dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Tuhan tidak menugaskan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh manusia, tidak menghendaki sesuatu yang tidak kuasa dilaksanakan oleh manusia.
Abu Huzail seorang tokoh mu’tazilah kelihatannya lebih memerankan otoritas akal manusia, sehingga menurutnya akal manusia mampu membimbing manusia sendiri untuk membedakan perbuatan yang baik dengan yang buruk. Manusia dituntut oleh akalnya untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik. Oleh sebab itu, manusia wajib berbuat baik dan dan menjauhi perbuatan jahat. Al-Juba’i mengatakan bahwa sebelum manusia melakukan perbuatannya, manusia itu telah memiliki daya untuk mewujudkan perbuatannya, apakah manusia itu beriman atau ingkar.
Gambaran dari pemikiran ketiga tokoh mu’tazilah di atas menunjukkan bahwa Tuhan punya kekuasaan dan keadilan, sementara manusia mempunyai daya akal. Dengan potensi daya akal yang diciptakan Tuhan tersebut manusia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya. Dengan akal manusia mampu mempertimbangkan akibat dari perbuatannya, apakah perbuatan yang dilakukannya berakibat baik atau sebaliknya akan membawa bencana. Walaupun manusia dianggap sebagai penentu bagi perbuatannya sendiri dengan daya yang ada padanya, namun Tuhan wajib untuk memberi balasan terhadap perbuatan manusia tersebut.
Disini jelas bahwa kekuatan untuk mewujudkan perbuatan berada pada manusia, sehingga pertimbangan keputusan bagi kehendaknya berada pada dirinya. Hal ini diperkuat oleh Abdul Jabbar yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mewujudkan perbuatan manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya sendiri melalui daya yang diberikan Tuhan kepadanya. Daya inilah yang melahirkan perbuatan manusia dan perbuatan manusia yang sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan perbuatan Tuhan.[3]
C. Af'alul Ibad Menurut Aliran Asy’ariyyah
Dalam faham Asy'ari manusia di tempatkan pada posisi yang lemah. Ia di ibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karana itu, aliran ini lebih dekat dengan paham jabariah yang berarti bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak dan tidak ada ikhtiar. Manusia tak lain di ibaratkan seperti wayang yang melakoni apa yang diinginkan oleh dalangnya. Manusia berada dalam lingkaran kekuasaan mutlak Tuhan, setiap gerakan manudia digerakkan oleh Tuhan. Karena setiap perbuatan manusia harus kembali kepada ketentuan Tuhan.
Bagi Asy’ary sebagai tokoh Asy’ariyah yang berpaham jabariyah mengatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Seperti dalam Firman Allah dalam QS. As-Shaffat: 96 berikut.
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ ٩٦
Artinya: “dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu kerjakan”. (QS. Ash-Shaffat: 96)
Jadi, disini jelas bahwa manusia hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh Tuhan, dan manusia tidak pernah menciptakan perbuatannya sendiri tanpa kehendak dari Tuhan.
Seperti halnya mu’tazilah, golongan ini juga mengakui adanya daya. Daya diciptakan untuk membedakan antara kekuatan ikhtiar manusia itu sendiri dan kehendak Tuhan. Selanjutnya ditemukan juga istilah kasb atau perolehan yang menyatakan bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan, namun dilambangkan dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri yang disebut muktasib. Konsep kasb ini sangat rumit, sehingga sulit untuk dipahami. Di satu sisi manusia dipaksa untuk melaksanakan kewajiban melalui ikhtiarnya, tetapi disisi lain manusia itu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan ikhtiarnya sendiri. Daya manusia adalah daya Tuhan, sehingga ketidakberdayaan manusia menuntut kepasrahan dan tawakal. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Walaupun Tuhan menciptakan daya, tetapi manusia berbuat bukan karena dayanya sendiri melainkan daya Tuhan. Sedang menurut Baqillani, Tuhan tidak menciptakan perbuatan manusia, tetapi Tuhan hanya menciptakan gerak yang selanjutnya potensi tersebut dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kehendaknya. Begitu juga al-Juwaini cenderung kepada adanya causalitas antara wujud perbuatan dengan daya serta wujud daya dengan kehendak Tuhan.[4]
D. Af’alul Ibad Menurut Aliran Salaf
Ibn Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf kelihatannya berpendapat bahwa perbuatan manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri karena ia memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan yang menciptakan potensi itu. Jadi, Tuhan adalah causa prima. Berkenaan dengan hal ini Ibn Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu dengan berbagai sebab yang diciptakan-Nya. Allah menciptakan hamba dan menciptakan pula potensi yng menjadi sebab perbuatannya. Hamba adalah pelaku perbuatannya sendiri yang sebenarnya. Jadi, pendapat golongan Ahlusunnah tentang penciptaan perbuatan berdasarkan kehendak dan kekuasaan Allah adalah sama dengan pendapat mereka tentang penciptaan segala yang baru dengan sebab-sebabnya.”[5]
Perbuatan Hamba disandarkan kepada Tuhan dilihat dari segi Tuhan adalah pencipta sebab perbuatan itu, yakni kemampuan manusia yang ada pada dirinya. Menurut Ibn Taimiyyah, antara perintah dan kehendak Tuhan tidak ada keterkaitan. Tuhan menghendaki ketaatan dan memerintahkannya. Tuhan tidak menghendaki kemaksiatan yang dikerjakan oleh manusia dan melarangnya.
Ibn Taimiyyah membedakan antara Ridho, suka dan kehendak. Kehendak Tuhan kadang-kadang terjadi pada sesuatu yang bertentangan dengan perintah dan larangan-Nya. Akan tetapi suka dan Ridho-Nya merupakan hal yang sejalan dengan perintah dan larangan-Nya. Tuhan tidak menyukai maksiat dan tidak meridhoinya, tetapi Tuhan menghendakinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Afalul Ibadmerupakan suatu fungsi dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Tatkala para ulama kalam pun berselisih dalam menentukan fungsi dari perbuatan manusia tersebut. Apakah dengan kodrat dan irodat,manusia merupakan orang yang mempunyai hak untuk menentukan pekerjaan apa yang disukai oleh Manusia itu sendiri maupun perbuatan yang tidak disukai. Ataukah bukan dengan kodrat dan irodat.
Menurut aliran mu’tazilah, manusialah yang mewujudkan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk, beriman atau kafir. Dan Tuhan memberi daya kepada manusia untuk menentukan langkah perjalanannya. Daya inilah yang melahirkan perbuatan manusia dan perbuatan manusia yang sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri bukan perbuatan Tuhan. Selanjutnya Tuhan akan membalasnya sesuai dengan apa yang diperbuat oleh manusia.
Aliran Asy’ariyyah mengatakan bahwa perbuatan manusia semata-mata kehendak Tuhan. Aliran ini juga menyatakan bahwa yang melakukan perbuatan pada hakekatnya adalah Tuhan, namun dilambangkan dalam bentuk perbuatan manusia, pencipta sebenarnya adalah Tuhan, sedangkan manusia adalah pencipta bagi aktivitasnya sendiri.
Ibn Taimiyyah sebagai tokoh aliran salaf berpendapat bahwa perbuatan manusia dihubungkan kepada manusia itu sendiri karena ia memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Tuhan dengan anggapan bahwa Tuhan yang menciptakan potensi itu.
B. Saran
Dalam menyusun Makalah Af'alul Ibad ini mungkin belumlah sempurna maka dari itu saya berharap untuk hendaknya memberikan saya penjelasan lebih atau pemberian contoh yang jelas agar saya dapat memperbaiki makalah yang saya susun di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abu, Muhammad Zahrah. 1996. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House
Hanafi. 1992. Theology Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Mufid, Fathul. 2009. Ilmu Tauhid/Kalam. Kudus: STAIN Kudus
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islami. Jakarta: UI-Press
Syihab. 2004. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Komentar
Posting Komentar